Yuforia Pemilu masih riuh-rendah di Indonesia, bahkan teman-teman sesama WNI di luar negeri pun seakan tak mau kalah, ikut « berpesta » demokrasi, yang katanya paling seru dalam sejarah peta demokrasi di negara ini. Bagaimana tidak, karena 2 kandidat calon presiden Indonesia ini masing-masing memiliki kharisma yang kuat bagi masing-masing simpatisannya.
Saya adalah salah satunya, bukan warga negara yg cukup vocal mendukung salah satu CaPres, saya malah cenderung pasif menyuarakan « suara » saya. Cukup memantau saja, walaupun terkadang sampe membelalakan mata dan mengerenyitkan dahi. Yang jelas, saya sih berpegang pada prinsip ‘Rahasia’, jadi kalau ada yg bertanya: « Pilih siapa Ham? », jawab saya pasti: « Ada deh..Rahasia dong ».
Ini pun termasuk dengan ayah saya yg ‘berkampanye’ tentang capres nya kepada saya, yang kebetulan berbeda dengan pilihan saya. Lama kelamaan saya sampai suatu titik dimana saya bertanya, seberapa yakin ya saya dengan pilihan saya?
Beberapa pekan yang lalu saya punya kesempatan berbincang dengan seorang teman. Tentang bagaimana harusnya kita menyikapi pesta demokrasi. Kami berbincang santai tentang « The What If’s ». Menurut teman saya ini, pemilu kali ini memang berat sekali karena masing-masing sama-sama kuat, visi-misinya, basis simpatisannya, hingga cara berkampanye yang kadang juga membuat saya geleng-geleng kepala.
Inti pembicaraan kami yg bisa saya simpulkan adalah, bahwa kedua capres bukan dewa, masing-masing juga punya kekurangan, begitupun orang-orang dibelakangnya. Pemilu itu baratnya memilih yg baik dari yg buruk, bukan yg terbaik dari yg terbaik. Saya juga pernah skeptis terhadap skema politik di Indonesia, tapi saya percaya masih ada kok orang baik di negeri ini. Orang baik yang percaya hal baik sekecil apa pun dapat mengubah cara pandang kita terhadap dunia. Persis seperti tulisan saya tepat 5 tahun yg lalu, yg di inspirasi oleh kisah pribadi saya, malam sebelum pemilu 5 tahun yg lalu. (Pemilu 2009)
Siapapun presidennya, sebanyak apapun « What If’s » yg bisa kita uraikan akan tetap menjadi what if bila kita, khususnya yg masih muda, menginginkan perubahan negara kita kearah yg lebih baik yg dimulai dengan revolusi mental masing-masing indvidu kita dulu.
Teman saya itu juga menambahkan, yang penting adalah siapapun pilihannya, sebisa mungkin cuma ada 1 putaran, karena anggaran negara yg besar itu akan lebih bermanfaat untuk hal lain daripada pemilu 2 putaran. Nah saya setuju sekali dengan yg ini…